Selasa, 15 Agustus 2017

SERBA SERBI BERKURBAN

By Kidungilmu  |  23.15 No comments

[1] Soal : Kurban disebut juga Udhiyah apakah yang dimaksud Udhiyyah ?

Jawab : Udhiyah adalah :

مَا يُذْبَحُ مِنْ بَهِيْمَةِ الْأَنْعَامِ أَيَّامَ عِيْدِ الْأَضْحَى بِسَبَبِ الْعِيْدِ تَقَرُّبًا إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

“Hewan ternak yang disembelih pada Hari ‘Idul Adh-ha sebagai bentuk merayakan hari besar dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.” (Talkhishu Kitabu Ahkamil Udh-hiyah wadz Dzakah). Dinamakan Udhiyah ( dhuha ), karena waktu melaksananakannya adalah pagi waktu dhuha.

[2] Soal : Hewan apa saja yang boleh disembelih untuk berkurban ?

Jawab : Berkurban hanya boleh dengan hewan ternak saja, dan yang dimaksud hewan ternak menurut syari’at adalah; unta, sapi, dan kambing.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala;

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوْا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَ.

”Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut Nama Allah terhadap hewan ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka. Sesembahan kalian ialah Sesembahan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kalian kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah Ta'ala).” (QS. Al-Hajj : 34).

[3] Soal : Apa dalil disyariatkannya berkurban ?

Jawab : Dalil disyari’atkannya berqurban adalah berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan) para ulama islam.

Dalil dari Al Qur’an misalnya firman Allah Ta’ala :

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar : 2).

Dalil dari Sunnah diantaranya adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma ia berkata;

أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِيْنَةِ عَشْرَ سِنِيْنَ يُضَحِّي.

“Nabi shalallahu alaihi wasallam tinggal di Madinah selama sepuluh tahun, beliau selalu berqurban.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi : 1507).

Adapun dalil dari ijma’ adalah sebagai mana yang di sebutkan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah :

فَقَدْ أَجْمَعَ جَمِيعُ الْمُسْلِمِينَ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ الْأُضْحِيَّةِ

“Maka sungguh telah sepakat seluruh kaum muslimin atas disyari’atkannya berkurban” (Al Mughni 13/360)

[4] Soal : Apa hukum berqurban ?

Jawab : Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama kepada dua pendapat antara yang mengatakan wajib dan yang mengatakan sunnah muakkadah.

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa qurban hukumnya adalah Sunnah Muakkadah. Inilah Madzhabnya Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Al-Muzani, Ibnul Mundzir, Dawud, Ibnu Hazm, dan selainnya.

Adapun yang berpendapat wajib adalah diantaranya pendapat Al Auza’i, Al Laits, Abu hanifah, dan sebagian riwayat dari imam Ahmad, serta Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah.

Dan pendapat yang kuat dalam masalah ini wallahu a'lam adalah berkurban itu wajib bagi yang mampu sebagaimana dikatakan oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

وَوُجُوبُهَا حِينَئِذٍ مَشْرُوطٌ بِأَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهَا فَاضِلًا عَنْ حَوَائِجِهِ الْأَصْلِيَّةِ كَصَدَقَةِ الْفِطْرِ

“Dan kewajiban berkurban pada saat itu berlaku syarat apabila ia mampu ada kelebihan dari kebutuhan pokoknya seperti (kewajiban pada) zakat fitrah”. (Majmu’ Al fatawa 23/162)

Di antara dalil wajibnya Qurban selain dari perintah dalam surah Al kautsar, dimana hukum asal perintah menunjukan kepada wajib, juga adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma ia berkata;

أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِيْنَةِ عَشْرَ سِنِيْنَ يُضَحِّي.

“Nabi shalallahu alaihi wasallam tinggal di Madinah selama sepuluh tahun, beliau selalu berqurban.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi : 1507)

Dan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda;

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا.

“Barangsiapa memiliki kemampuan (harta) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah : 3123. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ : 6490).

Adapun dalil yang memalingkannya dari hukum wajib, di antaranya adalah atsar dari Abu Sarihah radhiyallahu anhu, ia berkata;

أَدْرَكْتُ أَبَا بَكْرٍ أَوْ رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِىَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا كَانَا لَا يُضَحَّيَانِ.

“Aku bertemu Abu Bakar atau aku melihat Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu anhuma, mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Baihaqi Juz 9 : 18813 dan ‘Abdurrazaq : 8139. Atsar ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil : 1139).

Imam An nawawi rahimahullah berkata :

وَصَحَّ عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّهُمَا كَانَا لَا يُضَحِّيَانِ، مَخَافَةَ أَنْ يَعْتَقِدَ النَّاسُ وُجُوبَهَا

“Telah sahih dari riwayat Abu bakar dan Umar bahwasanya keduanya tidak berqurban karena khawatir dianggap wajib oleh manusia” (Adha’ul Bayan 5/203)

Dan perkataan Abu Mas’ud Al-Anshari rahimahullah;

أني لأدع الأضحية، وأنا من أيسركم، كراهة أن يعتقد الناس أنها حتم واجب

“Sesungguhnya aku tidak berqurban, padahal aku adalah orang yang berkelapangan, kerena aku khawatir manusia berpendapat bahwa hal itu wajib atas.” (HR. Baihaqi : 18817 dan ‘Abdurrazaq : 8149).

[5] Soal : Apa syarat berqurban ?

Jawab : Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan bagi orang yang hendak berqurban diantaranya :

1. Binatang yang akan diqurbankan haruslah binatang ternak yang ditetapkan oleh syari’at yaitu, unta, sapi dan kambing, dan dibolehkan berkurban dengan kerbau karena kerbau adalah sejenis sapi.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala ;

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ الْأَنْعَامِ فَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُوْا وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَ.

”Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (qurban), supaya mereka menyebut Nama Allah terhadap hewan ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka. Sesembahan kalian ialah Sesembahan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kalian kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah Ta’ala).” (QS. Al-Hajj : 34).

2. Binatang kurban haruslah miliknya yang didapatkan secara halal, bukan hasil mencuri atau menipu, atau binatang gadaian.

3. Bintang Qurban hendaknya terbebas dari cacat berupa, buta sebelah yang jelas butanya, atau sakit yang jelas sakitnya, atau yang pincang dan jelas pincangnya, serta yang kurus yang tulangnya tidak bersumsum.

Keempat hal di atas berdasarkan hadits dari Al-Barra’ bin ’Azib radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda;

أَرْبَعٌ لَا تَجُوْزُ فِي الضَّحَايَا : اَلْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيْضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا، وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيْرَةُ الَّتِيْ لَا تُنْقِي.

”Empat jenis hewan yang tidak boleh dijadikan qurban; hewan yang jelas kebutaannya, hewan yang jelas sakitnya, hewan yang jelas pincangnya, dan hewan yang kurus yang sehingga tidak bersumsum.” (HR. Tirmidzi: 1497, Abu Dawud : 2802, dan Ibnu Majah : 3144. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil : 1148).

Adapun cacat yang ringan pada hewan qurban, maka hal ini dimaafkan. Berkata Imam Al-Khaththabi rahimahullah ;

وفيه دليل على أن العيب الخفيف في الضحايا معفو عنه ألا تراه يقول بين عورها وبين مرضها وبين ظلعها فالقليل منه غير بين فكان معفواً عنه.

“Di dalam hadits di atas (tentang empat cacat yang tidak boleh pada hewan qurban) terdapat keterangan bahwa cacat dan aib yang ringan pada hewan qurban, maka dimaafkan. Karena Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Yang jelas butanya, yang jelas sakitnya ...,” maka cacat sedikit yang tidak jelas, dimaafkan.” (Mu’alimus Sunan, 4/106).

Secara terperinci bahwa cacat pada hewan qurban terbagi menjadi tiga, antara lain :

[1] Cacat yang dapat menghalangi keabsahannya sebagai hewan qurban adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits diatas yaitu : Buta, sakit, pincang dan kurus.

[2] Cacat yang menyebabkan makruh untuk berkurban, ada dua: yaitu :

Pertama : hewan yang Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong.

kedua : Hewan yang Tanduknya pecah atau patah. (Shahih Fiqih Sunnah, II:373)

Memang Terdapat hadits yang menyatakan larangan berkurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun haditsnya dha'if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk kurban. (Syarhul Mumthi' 7/470)

[3] Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan kurban (boleh dijadikan untuk kurban) namun kurang sempurna. Selain enam jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan kurban. Misalnya, tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a'lam (Shahih Fiqih Sunnah, 2/373)

4. Usia bintang Qurban haruslah mencapai musinah. Yaitu unta berusia 5 tahun, sapi berusia 2 tahun dan kambing berusia 1 tahun, adapun domba boleh walaupun 6 bulan.

Dari Jabir radhiyallahu anhu ia berkata, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda;

لَا تَذْبَحُوْا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ تَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ.

“Janganlah kalian menyembelih qurban kecuali berupa Musinnah. Namun jika kalian kesulitan mendapatkannya, maka sembelihlah domba yang jadz’ah.” (HR. Muslim : 1963).

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ;

وَالْمُسِنَّةُ : اَلثَّنِيَةُ فَمَا فَوْقَهَا، وَالْجَذَعَةُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ. فَالثَّنِيْ مِنَ الْإِبِلِ : مَا تَمَّ لَهُ خَمْسُ سِنِيْنَ، وَالثَّنِي مِنَ الْبَقَرِ : مَا تَمَّ لَهُ سَنَتَانِ. وَالثَّنِيْ مِنَ الْغَنَمِ مَا تَمَّ لَهُ سَنَةٌ، وَالْجَذَعُ : مَا تَمَّ لَهُ نِصْفُ سَنَةٍ

”(Yang dimaksud dengan) musinnah adalah hewan yang telah mencapai usia tsaniyah atau lebih tua dari itu. Dan jad’ah adalah usia yang kurang dari tsaniyah tersebut. Usia tsaniyah untuk : Unta adalah telah genap berusia lima tahun, Sapi adalah telah genap berusia dua tahun, Kambing adalah telah genap berusia satu tahun, (Adapun) usia jaz’ah untuk domba (kibasy) adalah : Domba kibasy telah genap berusia setengah tahun (6 bulan)” (Talkhishu Kitabu Ahkamil Udh-hiyah wadz Dzakah).

5. Bagi yang mau berkurban maka dari mulai tanggal 1 Dzulhijjah tidak boleh mencukur rambut atau memotong kuku sehingga binatang Qurbannya disembelih. Ini berlaku bagi kepala keluarga saja yang mau berkurban.

Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda;

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.

”Jika telah masuk sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijjah) dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih hewan qurban, maka hendaklah ia tidak memotong rambut dan kulitnya sedikit pun.” (HR. Muslim : 1977).

Dalam lafadz lain :

فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعَرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يَضُحِّيَ.

“Maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya sedikit pun hingga ia berqurban.” (HR. Muslim : 1977).

6. Penyembelihan hewan qurban dilakukan pada waktu yang ditentukan Syari’at
Penyembelihan hewan qurban dilakukan setelah Shalat ’Idul Adh-ha (tanggal 10 Dzulhijjah) hingga tenggelam matahari pada hari Tasyriq terakhir (tanggal 13 Dzulhijjah).

Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka ia harus menyembelih hewan qurban lain sebagai penggantinya. Hal ini berdasarkan hadits dari Jundab bin Sufyan radhiyallahu anhu, ia berkata;

شَهِدْتُ الْأَضْحَى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ بِالنَّاسِ، نَظَرَ إِلَى غَنَمٍ قَدْ ذُبِحَتْ، فَقَالَ : مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَلْيَذْبَحْ شَاةً مَكَانَهَا، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ عَلَى اسْمِ اللَّهِ.

”Aku berhari raya Adh-ha bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Setelah beliau selesai shalat bersama manusia, beliau melihat seekor kambing telah disembelih. Maka beliau bersabda, ”Barangsiapa menyembelih sebelum shalat, hendaknya ia menyembelih seekor kambing (lagi) sebagai gantinya dan barangsiapa belum menyembelih, hendaknya ia menyembelih dengan nama Allah.” (HR. Bukhari : 5242 dan Muslim : 1960) Penyembelihan juga boleh dilakukan pada hari-hari Tasyriq. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ;

كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ

”Seluruh hari Tasyriq adalah waktu penyembelihan (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi: 19025. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ : 4537).

[6] Soal : Dimana tempat menyembelih kurban sebaiknya ?

Jawab : Dibolehkan untuk menyembelih hewan qurban ditempat manapun, mau dirumah, ditempat jagal sekalipun namun yang lebih utama adalah melakukan penyembelihan di tanah lapang tempat shalat ‘Idul ‘Adh-ha, agar orang-orang mengetahui bahwa berqurban ketika itu sudah boleh dilakukan. Diriwayatkan dari Ibnu ’Umar radhiyallahu anhuma ia, berkata;

كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْبَحُ وَيَنْحَرُ بِالْمُصَلَّى.

”Dahulu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyembelih hewan qurban di Mushalla (tanah lapang tempat pelaksanaan Shalat ‘Ied).” (HR. Bukhari : 5232).

[7] Soal : Bagaimana cara membagikan daging kurban ?

Jawab : Tidak ada ketentuan seberapa banyak daging qurban yang harus dibagikan. Tetapi sebaiknya daging qurban tersebut; sepertiga dimakan, sepertiga disedekahkan, dan sepertiganya sisanya disimpan. Sebagaimana diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda;

كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا وَادَخِرُوْا

“Makanlah daging hewan qurban, berilah makan orang lain dengannya dan simpanlah.” (HR. Bukhari : 5249).

Makna “memberi makan” mencakup sedekah untuk para fakir miskin dan hadiah untuk orang kaya.

Namun seandainya seorang menyedekahkan seluruh daging qurbannya, maka ini diperbolehkan. Berdasarkan hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, ia berkata;

أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلُحُمِهَا وَجُلُوْدِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا

“Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi qurbannya, agar aku membagi-bagikan (semua) dagingnya, kulitnya, dan pakaian (unta tersebut) dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun (upah) dari qurban kepada Jagalnya.” (HR. Bukhari: 1621 dan Muslim : 1317)

[8] Soal : Bolehkah patungan untuk unta dan sapi lalu berapa orang maksimalnya boleh berpatungan ?

Jawab : Seekor unta boleh patungan untuk tujuh orang dan maksimal untuk sepuluh orang. Sedangkan seekor sapi dapat digunakan patungan untuk tujuh orang. Dari Jabir bin ’Abdillah radhiyallahu anhu berkata;

نَحَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ : اَلْبَدَنَةُ عَنْ سَبْعَةٍ, وَالْبَقَرَةُ عَنْ سَبْعَةٍ.

”Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim : 1318).

Diriwayatkan dari Ibnu ’Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata;

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ سَفَرٍ فَحَضَرَ الْأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةٌ وَفِي الْجُزُوْرِ عَشْرَةٌ.

”Kami pernah bepergian bersama Nabi shalallahu alaihi wasallam. Lalu tibalah hari raya qurban, kemudian kami berpatungan (berserikat); seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor unta untuk sepuluh orang.” (HR. Tirmidzi: 905, Ibnu Majah : 3131).

[9] Soal : Apakah binatang untuk kurban dan Aqiqah itu harus jantan atau boleh betina ?

Jawab : Diantara kesalahan sebagian kaum muslimin adalah merasa tidak enak, merasa bersalah kalau berkurban atau aqiqah dengan binatang yang betina, padahal dibolehkan baik betina ataupun jantan, bahkan mungkin betina yang gemuk lebih afdhal daripada jantan yang kurus. Namun yang lebih utama adalah yang jantan.

Diriwayatkan dari Ummu Kurzin radhiyallahu anha , Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda;

عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ لَا يَضُرُّكُمْ ذُكْرَانًا كُنَّ أَمْ إِنَاثًا.

“Aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing. Tidak masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad : 27900. Hadits ini dishahihkan Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ : 4106). Walaupun didalam hadits tentang masalah aqiqah akan tetapi jenis dan kriteria binatang untuk berkurban adalah sama dengan yang untuk aqiqah.

[10] Apakah berkurban itu untuk masing masing orang atau cukup satu ekor untuk satu keluarga ?

Jawab : Kewajiban berkurban itu adalah satu ekor unta atau sapi atau kambing itu untuk mewakili satu keluarga, bukan kewajiban atas tiap tiap anggota keluarga. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu anhu , ia berkata;

كَانَ الرَّجُلُ فِيْ عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهِلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُوْنَ وَيُطْعِمُوْنَ.

”Pada zaman Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ada seseorang yang berqurban seekor kambing untuk dirinya dan keluarganya. Mereka memakan (daging qurban mereka) dan mereka memberi makan (orang lain).” (HR. Tirmidzi : 1505, Ibnu Majah : 3147. Hadits ini derajatnya hasan shahih).

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam juga bersabda :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ

“Wahai sekalian manusia sesungguhnya atas tiap satu keluarga dalam tiap tahunnya wajib berkurban” (HR Abu Dawud, Shahih Abu Dawud : 3487)

[11] Soal : Apakah boleh kalau kita berqurban atas nama orang tua atau kerabat kita yang telah meninggal ?

Jawab : Masalah bolehnya insya Allah boleh karena ada sebagian ulama yang membeolehkan , dimana mereka menyamakan kurban untuk mayit dengan sedekah atas nama mayyit.

Imam Tirmidzi rahimahullah berkata :

وَقَدْ رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ يُضَحَّى عَنْ الْمَيِّتِ ، وَلَمْ يَرَ بَعْضُهُمْ أَنْ يُضَحَّى عَنْهُ . وقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ : أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُتَصَدَّقَ عَنْهُ وَلا يُضَحَّى عَنْهُ .

“Sungguh sebagian ulama membolehkan berkurban atas nama mayyit, dan sebagian yang lain tidak membolehkan. Imam Ibnul Mubarak mengatakan, Aku lebih suka bersdekah atas nama mayyit daripada berkurban atas namanya”

Akan tetapi yang kuat dalam masalah ini adalah bahwa berkurban atas nama mayyit tidaklah perlu di lakukan kecuali jikalau Mayyit berwasiyat sebelumnya untuk berkurban, adapun jika tidak maka tidak perlu melakukannya karena beberapa alasan :

▪Berkurban disyari’atkan itu kepada orang yang hidup, dan itu pula yang diparaktekkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam.

Syaikh Muhammad Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki beberapa anak laki-laki dan perempuan, beberapa orang istri, dan kerabat dekat yang beliau cintai, yang meninggal dunia mendahului beliau. Namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah berkurban secara khusus atas nama salah satu diantara mereka. Beliau tidak pernah berkurban atas nama pamannya Hamzah, atau atas nama istri beliau Khadijah atau istri beliau Zainab binti Khuzaimah, tidak pula untuk tiga putrinya dan anak-anaknya radliallahu 'anhum. Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perbuatan maupun ucapan. Oleh Karena itu, hendaknya seseorang berkurban atas nama dirinya dan keluarganya. (Syarhul Mumthi', 7:287).

▪Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menganjurkan sedekah atas nama mayyit tapi tidak menganjurkan berkurban.

▪ Rasulullah dan para sahabat tidak melakukannya, maka seandainya perkara ini baik tentunya mereka adalah kaum yang telah terlebih dahulu melakukannya.

Meskipun demikian, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah tidaklah menganggap bentuk berkurban secara khusus atas nama mayit sebagai perbuatan bid'ah. Beliau mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan, berqurban secara khusus atas nama mayit adalah bid'ah yang terlarang. Namun vonis bid'ah di sini terlalu berat, karena keadaan minimal yang bisa dikatakan bahwa kurban atas nama orang yang sudah meninggal termasuk sedekah. Dan terdapat dalil yang shahih tentang bolehnya bersedekah atas nama mayit” (Syarhul Mumthi', 7:287)

[12] Soal : Bolehkah kita memberi upah tukang jagal dengan daging Kurban ?

Jawab : Tidak boleh dan ini termasuk bentuk menjual sesuatu dari daging kurban yang terlarang.

Oleh karenanya upah harus diambil dari uang kita sendiri bukan diambil dari daging kurban. Adapun member hadiyah kepada tukang jagal maka ini dibolehkan, asal bukan sebagai upah.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata;

أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُوْمَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُوْدِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا.

“Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi qurbannya, agar aku membagi-bagikan (semua) dagingnya, kulitnya, dan pakaian (unta tersebut) dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari qurban kepada penyembelihnya.” Lalu Ali radhiyallahu anhu berkata, “Kami memberinya (upah) dari apa yang kami miliki.” (HR. Bukhari: 1621 dan Muslim : 1317)

Termasuk tidak boleh menjual sesuatupun dari binatang kurban hingga kulitnya sekalipun.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلَا أُضْحِيَّةَ لَهُ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam “ Barang siapa yang menjual kulit binatang kurban maka tidak ada kurban baginya” (HR Al Baihaqi, Sunan Al Kubra No : 19233, Di shahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah , Shahih At Targhib Wat Tarhib hal. 455)

[13] Mana yang afdhal didalam berkurban, apakah kita menyembelih sendiri atau kita wakilkan ke orang lain?

Jawab : Ibadah kurban adalah bentuk ibadah yang dengannya seseorang bertaqarub kepada Allah, maka hukum asalnya lebih utama untuk melakukannya sendiri, termasuk dalam masalah berkurban ini, sebagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun menyembelih sendiri, akan tetapi sebagaimana hadits Ali bin Abi Thalib diatas dimana Rasulullah shalalahu alaihi wasallam mewakilkan kepada Ali radhiyallahu anhu , yang menunjukan bolehnya diwakilkan.

Dari Anas bin Malik ia berkata :

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى، وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا .

“Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kambing kibasy yang putih ada hitamnya, bertanduk, beliau menyembelihnya sendiri menyebut nama Allah dan bertakbir, beliau meletakan kakinya di lambung keduanya” (HR Bukhari Muslim)

Imam Al Bukhari rahimahullah berkata :

وَأَمَرَ أَبُو مُوسَى بَنَاتَهُ أَنْ يُضَحِّينَ بِأَيْدِيهِنَّ

“Abu Musa (Al Asy’ary) memerintahkan putrinya (yang berkurban) untuk menyembelih dengan tangan mereka sendiri” (Fathul Bari 10/19)

[14 ] Soal : Bolehkah niat Kurban sekalian Aqiqah karena waktunya bersamaan ?

Jawab : Ada dua pendapat dikalangan para ulama antara yang membolehkan dan tidak membolehkan.

Pendapata yang pertama :

Mereka tidak membolehkan menggabungkan niat antara aqiqah dengan berqurban adalah madzhab Maliki dan Madzhab Syafi’I, demikian juga salah satu riwayat dari imam Ahmad.

Alasan mereka adalah karena beda jenis ibadah aqiqah dengan berqurban. Dan juga sebabnya berbeda yaitu sebab kelahiran anak dan sebab karena idul adha.

Al Haitami rahimahullah berkata :

وَظَاهِرُ كَلَامِ َالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا ، وَهُوَ ظَاهِرٌ ; لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ

“Yang Nampak didalam perkataan para ulama Madzhab (syafi’iyyah) bahwasanya kalau seseorang berniat kurban dan aqiqah sekaligus, maka tidaklah teranggap satu dari keduanya, inilah yang Nampak, karena masing masing dari keduanya adalah ibadah yang sunnah yang memiliki tujuan (yang berbeda)” (Tuhfatul Muhtaj, syarah Al Minhaj 9/371)

Pendapat yang kedua :

membolehkan menggabungkan niat berqurban dengan aqiqah, inilah madzhabnya salah satu riwayat dari Imam Ahmad, demikian juga madzhab Hanafi, Al Hasan Bashri, Muhammad Bin Sirin, Qatadah dan yang lainnya.

Alasan mereka adalah bahwa berkurban dan aqiqah itu sama sama bentuk taqarub kepada Allah dengan cara menyembelih maka satu sama lain kedudukannya sama, sebagaimana shalat tahiyyatul masjid menjadi gugur bagi orang yang langsung mau shalat fardlu

Al Hasan Bashri rahimahullah berkata :

إذَا ضَحُّوا عَنْ الْغُلَامِ فَقَدْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ مِنْ الْعَقِيقَةِ

“Apabila berkurban (niat) atas nama kelahiran anak maka mencukupi dari aqiqah” (HR Ibnu Abi Syaibah, Al Mushanif 5/534)

Pendapat yang rojih insya Allah adalah pendapat yang pertama yaitu tidak boleh digabungkan antara aqiqah dengan berkurban karena jenis dan sebab ibadahnya berbeda walaupun sama sama menyembelihnya, Demikian semoga bermanfaat , wallahu A’lam.

Abu Ghozie As Sundawie

Author: Kidungilmu

Hello, saya author dari blog ini. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Mari kita untuk terus belajar sepanjang hayat. Thx

0 komentar:

E-mail Newsletter

Sign up now to receive breaking news and to hear what's new with us.

Recent Articles

© 2014 Kidung Ilmu. WP themonic converted by Bloggertheme9. Powered by Blogger.
TOP